JAKARTA - Sejauh mata memandang ke pelosok negeri, terbentang sumber-sumber energi baru terbarukan, demikian para ahli sering menyebut. Sayangnya, aset alam nan melimpah di bumi pertiwi ini belum mampu menyumbang pasokan energi bagi kemakmuran bangsa.
“Sudah ditargetkan melalui Perpres No 5/2006 untuk mengurangi penggunaan minyak bumi. Namun, hingga saat ini, belum ada action plan pemerintah kendati secara kebijakan atau regulasi sebenarnya sudah cukup,” ujar Arya Rezavidi, MEE, Ph.D, Direktur Pusat Teknologi Konversi dan Konservasi Energi BBPT.
Berdasarkan Perpres 5/2006, energi alternatif adalah semua jenis energi primer yang bukan berasal dari minyak bumi. Aturan tersebut mencantumkan energi baru, yaitu bentuk energi yang dihasilkan teknologi baru, baik yang berasal dan energi terbarukan maupun energi tak terbarukan, antara lain hidrogen, coal bed methane, batubara yang dicairkan (liquefied coal), batubara yang digaskan (gassified coal), dan nuklir.
Sedangkan, energi terbarukan yaitu sumber energi yang dihasilkan sumberdaya energi yang secara alamiah tidak akan habis, yaitu panas bumi, bahan bakar nabati (biofuel), aliran air sungai, panas surya, angin, biomassa, biogas, ombak laut, dan suhu kedalaman laut.
”Hampir semua sumber energi tersebut sudah diteliti oleh BPPT. Indonesia negara kepulauan. Jadi, semua jenis energi harusnya bisa dimanfaatkan secara bersama-sama. Saling melengkapi, dan disesuaikan dengan potensi daerah tersebut,” ujar Arya.
Untuk pasokan energi kelistrikan, misalnya, lanjut dia, dengan kondisi wilayah kepulauan, tidaklah tepat dengan hanya mengandalkan sistem transmisi saja.
”Kendati sudah ada jaringan utara-selatan Jawa, namun di selatan Jawa masih banyak daerah yang tidak berlistrik. Karena secara ekonomis PLN tidak mau menyambung ke sana dengan alasan perusahaan itu akan merugi. Di situlah energi baru dan terbarukan bisa berperan karena bisa dibangun skala kecil. Dalam kelistrikan kita tidak bisa hanya mengandalkan satu sistem. Sistem transmisi untuk jawa mungkin cocok. Di luar jawa yang cocok adalah yang terdistribusi, pembangkit kecil-kecil dibawah 10 MW,” paparnya.
Melalui Balai Besar Teknologi Energi BBPT sejak 1990, telah diteliti potensi batu bara sebagai sumber energi. ”Kita punya plant kecil di sana. Saat ini, tidak sekedar uji kimia tapi juga melakukan uji bakar. Sudah banyak dipakai kalangan industri yang ingin mendapatkan sertifikasi batubara. Uji bakar penting, untuk mencegah masuknya batubara kualitas buruk dan mengeras di boilernya. Karena untuk men-shutdown bisa menghabiskan miliaran rupiah,” ujarnya.
Tidak hanya potensi batu bara untuk PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap), BPPT juga meneliti pengembangan briket batubara, untuk kompor rumah tangga, restoran serta industri kecil.
Pada kurun waktu sama, potensi batu bara cair sebagai sumber energi juga dilakukan penelitian, bekerjasama dengan Jepang. “Pencairan batu bara punya prospek sangat bagus apalagi saat ini harga minyak sedang naik. Batubara kualitas rendah kan tidak bisa dijual, tapi dengan proses kimia bisa dicairkan. Kalau sudah dicairkan bisa menjadi sama dengan bahan bakar biasa seperti solar, bensin atau minyak,” ujarnya.
Sedangkan, untuk kelistrikan, BBPT mengembangkan penelitian panas bumi. Pembangkit Listrik Panas Bumi skala kecil atau Binary Cycle dikembangkan di Lahendong, sejak 1995. ”Banyak lapangan panas bumi di Indonesia yang suhunya tidak terlalu tinggi, jadi tidak bisa menggerakkan turbin langsung. Tapi dengan binary cycle ini, panasnya ditransfer ke suatu fluida untuk menggerakkan turbin. Ini cocok dikembangkan di daerah-daerah di Indonesia. Kita sudah identifikasi kira-kira ada 2000 genset punya PLN yang skalanya kecil yang bisa digantikan oleh panas bumi ini,” ujar Arya.
Masalah pencarian sumber panas bumi, diupayakan mengembangkan alat yang disebut Fraktor Detektor, selain bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Mineral dan Panas Bumi DESDM. Tercatat, potensi geothermal Indonesia mencapai 40% dari potensi dunia atau sekitar 27000 gyga, namun baru 1 gyga yang dimanfaatkan untuk pembangkit listrik.
“Panas bumi selain dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin listrik, panasnya juga bisa dimanfaatkan untuk pengering budidaya jamur, ulat sutra, pengering kopra,” ujarnya.
Demikian pula, pengembangan sumber energi seperti tenaga angin yang dikembangkan bekerjasama LAPAN (Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional). Serta pemanfaatan limbah biomassa. ”Hampir semua limbah pertanian bisa dimanfaatkan. Permasalahannya, tidak bisa diprediksi kontinuitas suplai bahan baku. Ini tantangan bagi dunia pertanian agar bisa bergantian panennya sehingga sisanya bisa dijadikan bahan bakar pembangkit listrik. Saat ini, belum ada manajemen pertanian yang terpadu,” ujar Arya.
Potensi sumber energi lain yang cukup besar dan sustainable, kata Arya, yaitu tenaga matahari. “Secara geografis kita tidak mungkin membangun PLTU di pulau-pulau. Kalau di pulau Jawa memang kita harus membangun pembangkit skala besar. Jadi jangan hitungan ekonomis atau tidak, karena fotovoltaic memiliki kelebihan modular dan efisien untuk wilayah kecil,” ujarnya.
Tidak hanya di wilayah-wilayah terpencil, fotovoltaic juga sudah mulai diterapkan di beberapa bangunan bertingkat di wilayah perkotaan. ”Pasokan listrik gedung parkir BPPT menggunakan tenaga surya. Juga gedung Depdiknas, dan lainnya,” ujarnya.
Namun demikian, menurut Dr Martin Jamin, Staff Ahli Bidang Energi Kementerian Negara Riset dan Teknologi , hingga saat ini foltovoltaic masih terkendala pengadaan panel surya. ”PT LEN baru asembling panel surya dan belum mencukupi. Belum ada yang mau investasi ke sana,” ujarnya.
Keterlibatan PT PLN
Sementara itu, menurut Dr Ir Bambang Sapto Pratomosunu, Msc , Deputi Menteri Negara Bidang Perkembangan Ristek Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT), pemanfaatan sumber terbarukan memiliki keuntungan ganda. ”Kita tidak perlu membiayai sumbernya, selain itu ramah lingkungan,” ujarnya.
Kendati demikian, kata Bambang, KNRT beserta LPND terkait terbatas pada pengembangan prototipe. ”Kita uji coba sudah bagus. Tinggal ke instansi teknis yang menerapkan dan membangunnya,” ujarnya.
Dari sisi masyarakat, kata Bambang juga harus diupayakan pelatihan agar mampu mengelola unit pembangkit listrik tersebut secara berkelanjutan. ”Harus diakui, ada pergeseran dimana peran masyarakat di dalam mengelola unit pembangkit listrik mengalami penurunan dengan berbagai alasan,” ujarnya.
Dalam hal ini, lanjut dia, masyarakat tidak menyadari prototipe pembangkit listrik tidak didesain untuk kapasitas besar atau hanya dibangun untuk periode transisi saja sebelum PT PLN mendistribusikan hingga ke wilayah tersebut. ”Jadi pengembangan pilot project diberikan masyarakat secara kolektif sebagai intermediate sebelum pemerintah melalui PLN menyediakannya sampai ke lokasi tersebut. Atau, diproyeksikan selama 5 tahun,” ujarnya.
Tahun ini, Kata Bambang, KNRT mendanai beberapa kegiatan pengembangan prototipe pembangkit listrik Hybrid (fotovoltaic, tenaga angin dan diesel) beberapa wilayah, bekerjasama dengan LPND terkait dan swasta. “Beberapa waktu lalu diresmikan di Rotendao, NTT. Akhir tahun ini PLTH juga akan dibangun di Timor Tengah Utara,” ujarnya.
Untuk pengelolaannya, KNRT menjalin kerjasama dengan PT PLN. “Karena pengelolaan oleh koperasi berakhir kurang baik, maka kita serahkan pada pengoperasiannya pada pihak punya pengalaman yaitu PLN. Penyerahannya KNRT pada Pemda setempat, kemudian PLN,” ujarnya. (Lea)